Difteri adalah penyakit akut, penyakit menular dan penyakit infeksi bakteri karena infeksi dan eksotoksin corynebacterium diphtheriae dalam darah manusia terutama menyebabkan infeksi saluran pernapasan atas dengan manifestasi klinis demam, disfagia dan pseudomembran putih keabu-abuan.
Sinonim : diphtheria
Difteri dengan manifestasi klinis pseudomembran putih keabu-abuan yang melekat pada tonsil, faring, laring dan/atau mukosa hidung. Pseudomembran tersebut sulit dilepaskan dan mudah mengalami perdarahan.
Epidemiologi
sebanyak 4.429 kasus di dunia dan 1.192 kasus di Indonesia menurut WHO 2012
kasus difteri di Indonesia tertinggi ke-2 setelah India (2.525 kasus)
jumlah kasus difteri di Indonesia 218 (2008), 189 (2009), 432 (2010), 807 (2011), 1.192 (2012)
Kejadian Luar Biasa (KLB) difteri terjadi tahun 1990 dan 2017 di Indonesia
terdapat 591 kasus dan 38 diantaranya meninggal sampai bulan November 2017 di Indonesia
kriteria KLB difteri adalah ditemukan 1 kasus difteri klinis di rumah sakit, puskesmas maupun di masyarakat
Penderita
semua umur
terbanyak anak usia diatas 14 tahun (34%) Tahun 2017 di Indonesia
terbanyak anak usia 5-9 tahun (39%) Tahun 2016 di Indonesia
pseudomembran difteri dibentuk oleh corynebacterium diphtheriae. Pseudomembran difteri bersifat lokal dan menjalar dari faring, laring serta saluran pernapasan atas; seringkali pseudomembran pada laring dan trakea menyebabkan sumbatan jalan napas yang berbahaya.
jika eksotoksin corynebacterium diphtheriae mengenai otot jantung maka akan menyebabkan miokarditis dan bila menyerang jaringan saraf akan menimbulkan paralisis otot pernapasan.
Pada akhir minggu pertama, toksin akan menyerang otot jantung sehingga menyebabkan miokarditis. Pada minggu kedua, toksin akan masuk ke dalam jaringan saraf sehingga menimbulkan paralisis otot pernapasan. Jika toksin masuk ke dalam sel target maka akan menyebabkan inhibisi sintesis protein pada sel tersebut hingga akan mengalami kematian sel.
Penularan
reservoir : manusia dan binatang (sapi, anjing, babi, kucing (corynebacterium ulcerans)
difteri merupakan penyakit akut dengan masa inkubasi 2-5 hari
penderita selama masa inkubasi : orang serumah dan teman bermain; kontak dengan sekret nasofaring penderita (misalnya resusitasi mulut ke mulut); individu seruangan dengan penderita dalam waktu ≥ 4 jam selama 5 hari berturut-turut atau lebih 24 jam dalam seminggu (misalnya teman sekelas, teman mengaji, les).
pemeriksaan PCR (Polymerase Chain Reaction) : mendeteksi gen corynebacterium diphtheriae yang toksik (gen toksigenik)
tes Elek : uji toksisitas secara in-vitro
Gejala Difteri
awalnya tanpa gejala (misalnya tanpa demam) kemudian mirip gejala infeksi saluran pernapasan atas (misalnya subfebris dan demam) hingga berubah menjadi fatal
demam : mendadak, tidak terlalu tinggi (suhu diatas 380C, jarang sampai lebih 390C).
sesak napas disertai stridor (bunyi ngorok yang khas) saat pasien menarik napas akibat penyempitan saluran napas (berbeda pada asma bronkial saat mengeluarkan napas)
ambil sampel kultur swab hidung dan swab tenggorokan dengan menggunakan media amis transport
berikan antibiotik profilaksis sesuai dosis selama 7-10 hari
jika hasil laboratorium kontak penderita positif (karier) maka lanjutkan pemberian antibiotik selama 7-10 hari lagi sampai hasil laboratoriumnya negatif
tirah baring selama 2-3 minggu (lebih lama jika terjadi miokarditis)
diet makanan lunak kalori tinggi yang mudah dicerna
paracetamol
kortikosteroid : prednison 1,0-1,5 mg/kgbb/hari setiap 6-8 jam, pada kasus berat selama 14 hari
imunisasi 0,5 ml/intramuskular satu bulan setelah sembuh : DPT anak < 5 tahun, DT anak 5-7 tahun, Td anak ≥ 7 tahun (tanpa melihat status imunisasi sebelumnya)
Bedah
trakeostomi bila sesak napas untuk mengatasi sumbatan dan mencegah penderita tercekik serta kehabisan napas
dianjurkan tonsilektomi untuk mencegah kambuhnya penyakit
Kasus kontak erat :
kontak erat : tinggal serumah, teman sepermainan, teman sekelas, perawat kasus, pengambil spesimen (sekret) penderita, riwayat kontak dengan orang lain berjarak < 1 meter sejak 5 hari setelah muncul gejala klinis
ambil spesimen usap hidung dan usap tenggorok pada 3-5 kontak erat dengan kasus secara random
berikan obat profilaksis seperti eritromisin (etilsuksinat)
antibiotik tersebut akan membuat kontak erat menjadi non infeksius dalam waktu 24 jam
kontak yang hasil awal laboratoriumnya negatif corynebacterium diphtheriae (carrier) sebelum 7 hari maka obat profilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai
kontak yang hasil awal laboratoriumnya positif corynebacterium diphtheriae (carrier) sebelum 7 hari maka obat profilaksis tetap dilanjutkan sampai selesai kemudian lakukan pemeriksaan spesimen ulang setelah pemberian profilaksis 7 hari
bila kontak yang positif (carrier) hasil pemeriksaan laboratorium ulang (setelah 7 hari profilaksis) tetap positif maka terapi ulang dilanjutkan selama 7 hari
kultur ulang dilakukan minimal 2 minggu setelah terapi terhadap kasus / kontak / karier
jika masih positif maka diberikan terapi ulang selama 10 hari
difteri dapat disembuhkan bila tidak terlambat mendapatkan pertolongan (72 jam pertama)
Pencegahan
imunisasi (imunisasi DPT) : rutin terutama bila terjadi wabah; untuk membuat kebal, menghindari strain toksigenik berkolonisasi di tenggorok dan mencegah menjadi karier; vaksin yang diberikan adalah toksin yang sudah diolah sedemikian rupa dengan dicampur bahan aluminium sehingga tidak mengganggu jantung dan saraf.
melaksanakan phbs misalnya cuci tangan dengan sabun sebelum makan
Diagnosis Banding
5 diagnosis banding difteri :
tonsilitis non difteri : muncul cepat (akut), tidak tampak toksik, muka mungkin kemerahan, suhu tinggi hingga lebih 39°C; pseudomembran tidak sering unilateral (?) tanpa kemerahan disekelilingnya.
asma bronkial : difteri bunyi ngorok yang khas (stridor) saat pasien menarik napas (inspirasi) sedangkan asma bronkial bunyi ngorok saat pasien mengeluarkan napas (ekspirasi) yang disertai bunyi mengi.
laringitis difteri : epiglotitis haemophilus influenzae tipe b, croup spasmodik, adanya benda asing, laringotrakeobronkitis, abses peritonsilar, abses retrofaring
Referensi
dr. Harun Riyanto. Pencegahan Infeksi Saluran Nafas. Majalah Gemari, Edisi 143/Tahun XIII/Desember 2012.
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K) & dr. Desak Made Wismarini, MKM. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Imunisasi dan Surveilans Dalam Rangka Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
Dr. Rusipah, M.Kes. Surveilans Difteri & Penyelidikan Epidemiologi. Pertemuan Nasional Evaluasi Surveilans Epidemiologi. 2017.
World Health Organization. Diphtheria Management Flow Diagram. 2017.
Anonim. Penatalaksanaan Spesimen Difteri. Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2017.
Prof. Dr. dr. Ismoedijanto, Sp.A(K). Rekomendasi Komite Ahli Difteri Pada Pertemuan Komite Ahli Difteri. Jakarta. 2017.
Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K). Tata Laksana Serta Persiapan Untuk Penanggulangan Difteri. SMF Ilmu Kesehatan Anak. RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung. 2017.
Sarwo Handayani. Deteksi Kuman Difteri dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Cermin Dunia Kedokteran Edisi 191 Volume 39 No. 3. 2012.